Selasa, 17 November 2009

Kaitan Demokrasi&Negara hukum

Hubungan antara negara hukum dengan demokrasi dapat dinyatakan bahwa negara demokrasi pada dasarnya adalah negara hukum. Namun, negara hukum belum tentu negara demokrasi. Negara hukum hanyalah satu ciri dari negara demokrasi. Franz Magnis Suseno (1997) menyatakan adanya 5 gugus ciri hakiki dari negara demokrasi. Kelima ciri negara demokrasi tersebut adalah :
1. Negara hukum
2. Pemerintah di bawah control nyata masyarakat
3. Pemilihan umum yang bebas
4. Prinsip mayoritas
5. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis
Berdasarkan perkembangannya, tumbuhnya negara hukum, baik formal maupun materiil bermula dari gagasan demokrasi konstitusional, yaitu negara demokrasi yang berdasarkan atas konstitusi. Adapun demokrasi sebagai sikap hidup ditunjukkan dengan adanya perilaku yang taat pada aturan main yang telah disepakati bersama pula.

Perwujudan negara hukum di Indonesia


Legal order yang merupakan satu kesatuan sistem hukum yang tersusun secara tertib itu di Indonesia dituangkan dalam ketetapan MPR No. III/ MPR/ 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang ditulis di dalam pembukaan UUD 1945. Adapun tata urutan perundangan adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Ketetapan MPR Republik Indonesia
3. Undang-undang
4. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu)
5. Peraturan Pmerintah:
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah


Negara Indonesia menurut UUD 1945 mengandung Prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Norma Hukumnya bersumber pada Pancasila sebagai hukum dasar nasional.
b. Sistemnya yaitu sistem konstitusi
c. Kedaulatan rakyat atau prinsip demokrasi
d. Prinsip persamaan kedudukan dalam hukum
e. Adanya organ pembentuk UU (Presiden dan DPR)
f. Sistem pemerintahan adalah presidensiil
g. Kekuasaan kehakiman yang bebas dari kekuasaan lain (eksekutif)
h. Dan lain-lain

Prinsip-Prinsip negara Hukum

Indonesia berdasarkan UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya adalah negara hukum artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka. Negara hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi

Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari negara hukum diantaranya adalah : supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independent, peradilan bebas dan tidak memihak. peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis, sarana untuk mewujudkan tujuan negara, dan transparansi dan kontrol sosial. Untuk uraian lebih lengkap dari beliau silahkan download di sini.

Namun, menurut pandangan saya justru cuma ada tiga ciri penting dari negara hukum sehingga suatu negara dapat dikategorikan dalam negara yang berdasarkan hukum yaitu: Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman (Independent of the Judiciary), Kemandirian Profesi Hukum (Independent of the Legal Profession), dan Kemerdekaan Pers (Press Freedom).

Ketiga unsur inilah yang paling berkepentingan untuk menjaga agar tetap tegaknya prinsip-prinsip negara hukum dengan kedua belas cirinya yang sudah disebutkan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

Dalam pandanganku, kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah paling sentral untuk menentukan apakah suatu negara dapat dikatakan layak menyandang gelar negara hukum. Tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, maka bisa dipastikan bahwa suatu negara hanya berdasarkan kekuasaan dan selera politik dari penguasa resmi negara tersebut. Kekuasaan kehakiman yang Merdeka dan Mandiri ini tidak bisa juga diartikan bahwa hakim sangat bebas dalam memutus perkara akan tetapi dalam memutus perkara hakim harus dapat melihat dengan jernih dalam memberikan pertimbangan dalam putusan-putusannya sehingga layak untuk dipertanggung jawabkan kepada Tuhan YME, layak juga secara akademis, dan layak untuk masyarakat dapat menemukan kepastian dan keadilan

Akan tetapi kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini juga harus ditopang oleh kemandirian dari profesi hukum, tanpa adanya kemandirian dari profesi hukum maka sulit untuk bisa mengharapkan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. Artinya asosiasi profesi hukum harus mengambil peran aktif dalam melindungi hak-hak asasi manusia termasuk pemberantasan korupsi di suatu negara dan mengambil peran aktif dalam merumuskan tujuan negara di bidang hukum.

Kemerdekaan Pers merupakan kata kunci dalam memahami makna transparansi dan akuntabilitas dari penyelenggara negara, maka saya sangat sepakat dengan pendapat dari Ketua MA Prof Dr. Bagirmanan, SH, MCL yang menyatakan bahwa “Jangan sampai tangan hakim berlumuran ikut memasung kemerdekaan pers yang akan mematikan demokrasi, pers yang bebas bukan hanya instrumen demokrasi tetapi juga penjaga demokrasi. Hakim sangat memerlukan demokrasi, Menurut dia, hanya demokrasi yang mengenal dan menjamin kebebasan hakim atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu jangan sampai hakim ikut mematikan demokrasi. Jika itu terjadi maka tidak lain berarti hakim sedang memasung kebebasan atau kemerdekaannya sendiri.”

Unsur inipun penting karena tanpa adanya kemerdekaan pers maka kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kemandirian profesi hukum menjadi hilang tak bermakna

Tiga ciri ini sangat penting untuk mendukung terciptanya negara hukum, karena jika salah satu ciri ini hilang, maka perdebatan konseptual dan konteksual akan negara hukumpun serta merta menjadi hilang. Dan masyarakat akan menjadi hilang kepercayaan terhadap kedaulatan hukum yang justru akan menjauhkan masyarakat dari aspek keadilan dan kepastian hukum.

Ciri-Ciri Negara Hukum

Ciri-ciri rule of law menurut AV Dicey:

  1. Supremasi hukum, tidak ada kesewenang-wenangan.

  2. Kedudukan sama di depan hukum

  3. Terjaminnya HAM dalam keputusan pengadilan.

Kedua pendapat tersebut masih dipengaruhi oleh konsep negara hukum formal/dalam arti sempit; karena pemerintah yg sedikit adalah pemerintah yg baik.

Ciri-ciri rule of law/rechsstaat International Commission Of Jurits Bangkok 1965

  1. Perlindungan konstitusional dan prosedur unt memperolehnya.

  2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak

  3. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.

  4. Pemilihan umum yang bebas.

  5. Kebebasan untuk berorganisasi dan beroposisi.

  6. Pendidikan civics (kewarganegaraan)

  7. Menurut Montesquieu, negara yang paling baik adalah negara hukum karena terkandung : Perlindungan HAM, Ditetapkannya ketatanegaraan suatu negara, Membatasi kekuasaan dan wewenang organ-organ negara

· Negara Hukum Pancasila :

Hubungan yang erat antara agama dan negara-bertumpu pada ketuhanan yang maha esa kebebasan agama dalam arti positif-ateisme tidak dibenarkan dan komunisnme dilarang asas kekeluargaan dan kerukunan.

Unsur-unsur utama :

a. Pancasila.

b. MPR.

c. Sistem Konstitusi.

d. Persamaan.

e. Dan peradilan bebas.

Anglao Saxon (rule of law) :

Unsur utama bersumber dari rasio manusia-liberalitik / individualistik-antroposentrik, pemisahan antara agama dan Negara secara rigid (mutlak)-freedom of religion dalam arti positif dan negatif, ateisme dimungkinkan.

Unsur-unsur utama :

a. Supremasi hukum.

b. Equality before the law.

c. Individual Rights.

d. Dan tidak bergantung pada peradilan adminstrasi.


· Eropa Kontinental (rechstaat) :

Bersumber dari rasio manusia liberalistic/individualistic humanisme yang antroposentrik (lebih dipusatkan pada manusia) pemisahan antara negara dengan agama secara mutlak-ateisme dimungkinkan.

Unsur-unsur utama :

o Menurut Stahl :

a. Pengakuan atau perlindungan HAM.

b. Trias politika.

c. Wetmatige Bastuur.

d. Peradilan administrasi.

o Menurut Scheltema :

a. Kepastian hukum.

b. Persamaan

c. Demokrasi.

d. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.

Negara Hukum Formil & Materiil

Salah satu ciri penting dalam negara yang menganut konstitusionalisme yang hidup pada abad ke-19 adalah sifat pemerintahan yang pasif, artinya pemerintahan hanya sebagai wasit atau pelaksana dari berbagai keinginan rakyat yang dirumuskan pada wakilnya di parlemen.. Jika dikaitkan dengan Trias Politika dalam konsep Montesquieu, tugas pemerintah terbatas pada tugas eksekutif, yaitu melaksanakan UUD yang dibuat oleh parlemen. Tugas pemerintahan hanya melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh parlemen. Aliran ini disebut liberalisme yang dirumuskan dalam dalil The least government is the best government (pemerintah yang paling sedikit adalah pemerintah yang baik). Negara dalam perdagangan ini adalah negara yang memiliki ruang gerak sempit. Jadi negara hukum formil adalah negara yang membatasi ruang geraknya dan bersifat pasif terhadap kepentingan rakyat negara. Negara hukum formil dikecam banyak pihak karena mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang amat mencolok terutama setelah perang dunia kedua. Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga baik dalam bidang ekonomi dan sosial lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Gagasan baru ini disebut dengan Welfare State atau negara kesejahteraan. Negara hukum materiil atau dapat disebut negara modern, pemerintah diberi tugas membangun kesejahteraan umum diberbagai lapangan kehidupan dan pemerintah juga diberi Freies Ermessen, yaitu kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan ekonomi sosial dan keluluasaan untuk tidak terkait pada produk legislasi parlemen. Pemerintah (eksekutif) bisa memiliki kewenangan legislative, kewenangan ini meliputi 3 hal yaitu :
1. Adanya hak inisiatif, yaitu hak mengajukan rancangan undang-undang tanpa terlebih dahulu persetujuan parlemen, meskipun dibatasi kurun waktu tertentu.
2. Hak legislative yaitu membuat peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang .
3. Droit Emessen (menafsirkan sendiri aturan –aturan yang masih enunsiatif)

Supremasi hukum

Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.

Pemerintahan berdasarkan hukum(rule of law) adalah konsep hukum yang termasuk sejumlah asas yang berhubungan. Terlebih dulu, melindungi pemerintahan berdasarkan hukum menjamin bahwa tak seorang pun di atas hukum.

Demokrasi langsung Dipraktikkan di negara-negara kota (polis, city state) pada zaman Yunani Kuno. Pada masa itu, seluruh rakyat dapat menyampaikan aspirasi dan pandangannya secara langsung. Dengan demikian, pemerintah dapat mengetahui - secara langsung pula - aspirasi dan persoalan-persoalan yang sebenarnya dihadapi masyarakat.

Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan Sistem demokrasi (menggantikan demokrasi langsung) yang dalam menyalurkan kehendaknya, rakyat memilih wakil-wakil mereka untuk duduk dalam parlemen. Aspirasi rakyat disampaikan melalui wakil-wakil mereka dalam parlemen.

Demokrasi Material (Demokrasi Rakyat) Demokrasi material menitikberatkan upaya-upaya menghilangkan perbedaan dalam bidang ekonomi sehingga persamaan dalam persamaan hak dalam bidang politik kurang diperhatikan, bahkan mudah dihilangkan. Untuk mengurangi perbedaan dalam bidang ekonomi, partai penguasa (sebagai representasi kekuasaan negara) akan menjadikan segala sesuatu sebagai milik negara. Hak milik pribadi tidak diakui.

Pengertian Negara hukum

Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum[1]. Selain itu Pemikiran tentang Negara Hukum sebenarnya sudah sangat tua, jauh lebih tua dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri[2] dan pemikiran tentang Negara Hukum merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu aktual[3]. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai Negara Hukum sudah berkembang semenjak 1800 s.M[4]. Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran Negara Hukum adalah pada masa Yunani kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie gagasan kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum[5].

Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato[6] (429-347 s.M) dan Aristoteles[7] (384-322 s.M). Dalam bukunya Politikos yang dihasilkan dalam penghujung hidupnya, Plato (429-347 s.M) menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan hukum[8].
Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 s.M) adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadsi warga negara yang baik. Dan bagi Aristoteles (384-322 s.M) yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja[9].
Pada masa abad pertengahan pemikiran tentang Negara Hukum lahir sebagai perjuangan melawan kekuasaan absolut para raja. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Verzamel Geschriften, deel I, tahun 1949, hlm. 383, dalam pembicaraan Over den Rechtsstaat, istilah Negara Hukum itu berasal dari abad XIX, tetapi gagasan tentang Negara Hukum itu tumbuh di Eropa sudah hidup dalam abad tujuh belas. Gagasan itu tumbuh di Inggris dan merupakan latar belakang dari Glorious Revolution 1688 M. Gagasan itu timbul sebagai reaksi terhadap kerajaan yang absolut, dan dirumuskan dalam piagam yang terkenal sebagai Bill of Right 1689 (Great Britain), yang berisi hak dan kebebasan daripada kawula negara serta peraturan penganti raja di Inggris[10].
Di Indonesia istilah Negara Hukum, sering diterjemahkan rechtstaats atau the rule of law. Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Ide tentang rechtstaats mulai populer pada abad ke XVII sebagai akibat dari situasi sosial politik Eropa didominir oleh absolutisme raja[11]. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental seperti Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl[12]. Sedangkan paham the rule of law mulai dikenal setelah Albert Venn Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution. Paham the rule of law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common law system[13]. Konsepsi Negara Hukum menurut Immanuel Kant dalam bukunya Methaphysiche Ansfangsgrunde der Rechtslehre, mengemukakan mengenai konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan paham negara hukum dalam arti sempit, yang menempatkan fungsi recht pada staat, hanya sebagai alat perlindungan hak-hak individual dan kekuasaan negara diartikan secara pasif, yang bertugas sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Paham Immanuel Kant ini terkenal dengan sebutan nachtwachkerstaats atau nachtwachterstaats[14].
Friedrich Julius Stahl (sarjana Jerman) dalam karyanya ; Staat and Rechtslehre II, 1878 hlm. 137, mengkalimatkan pengertian Negara Hukum sebagai berikut :

Negara harus menjadi Negara Hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong daripada perkembangan pada zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian Negara Hukum, bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara Hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada Negara, melainkan hanya cara dan untuk mewujudkannya[15].

Lebih lanjut Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur rechtstaats dalam arti klasik, yaitu[16] :
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Paul Scholten, salah seorang jurist (ahli hukum) yang terbesar dalam abad ke dua puluh di Nederland, menulis karangan tentang Negara Hukum (Over den Rechtsstaats, 1935, lihat Verzamelde Gessriften deel I, hlm.382-394). Paul Scholten menyebut dua ciri daripada Negara Hukum, yang kemudian diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang utama daripada Negara Hukum ialah : “er is recht tegenover den staat”, artinya kawula negara itu mempunyai hak terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini sebenarnya meliputi dua segi :
1. Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya terletak diluar wewenang negara;
2. Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan ketentuan undang-undang, dengan peraturan umum.
Ciri yang kedua daripada negara hukum menurut Paul Scholten berbunyi ; er is scheiding van machten, artinya dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan[17]. Selanjutnya Von Munch misalnya berpendapat bahwa unsur negara berdasarkan atas hukum ialah adanya [18]:
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan keterikatan peradilan pada undang-undang dan hukum;
4. Aturan dasar tentang peroporsionalitas (Verhaltnismassingkeit);
5. Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-penetapan) kekuasaan umum;
6. Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;
7. Pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.

Dalam bukunya Introduction to Study of The Law of The Constitution, Albert Venn Dicey mengetengahkan tiga arti (three meaning) dari the rule of law : pertama, supremasi absolut atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari arbitrary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, preogratif atau discretionary authority yang luas dari pemerintah; kedua persamaan dihadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama; tidak ada peradilan administrasi negara; ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; singkatnya, prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan Parlemen sedemikian diperluas hingga membatasi posisi Crown dan pejabat-pejabatnya